Dan inilah pagiku, duduk sendiri ditemani segelas kopi tubruk hangat, sebungkus Oreo original, novel tentang Rusia yang baru belum seperempatnya dibaca, lagu country yang petikan gitarnya membuat kepala saya bergoyang ke kiri dan kanan, dan sakit perut yang mengawali bolosnya saya dari puasa Ramadhan sampai setidaknya seminggu ke depan. Setidaknya dengan sakit ini berarti saya perempuan sehat yang Insya Allah bisa menjadi ibu untuk anak-anak saya nanti.
Hanya kurang seseorang dan obrolan seru tentang traveling untuk menjadikannya sempurna.
Serius, akhirnya saya bisa sendiri di rumah sebesar ini yang dihuni 16 orang yang selalu sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Bagus dengan semangat badmintonnya, Iqra dengan gamenya, Mili dengan kegiatan pacarannya di telepon, Awa dengan aktivitas keibuannya di dapur, dan saya? Saya dengan obrolan seru yang tidak pernah ada habisnya bersama Cha yang sukses membuat rumah rame dan tidak jarang, ribut. Ditambah dengan kunjungan dari teman-teman Ranau dan Poso membawa kejahilan Fikar dan kejayusan Kiky yang menjadikannya kebersamaan yang sempura. Tapi pagi ini saya sendiri, ditinggalkan mereka yang masih harus tunduk pada kontrak kerja yang belum tuntas sampai minggu depan.
Sendiri? Mungkin aneh, tapi inilah yang saya rindukan selama hampir 5 bulan terakhir, sesuatu yang mungkin kebanyakan orang pikir sangat tidak ‘saya’. Saya yang selalu aktif dan cerewet kangen sendiri. Sedang galau, tidak. Hidup saya sangat indah saat ini, saya memiliki semuanya, bahkan mimpi yang menunggu untuk diwujudkan; dikelilingi orang-orang yang saya sayangi dan dinanti mereka yang saya rindukan; dan semangat untuk pulang dan bertemu lagi dengan keramaian Makassar.
Sebut saja saya berkepribadian ganda, dan semua yang saya tunjukkan selama 5 bulan ini sudah cukup dan ingin berbalik menunjukkan sisinya yang lain. Bahkan mungkin ketika kalian membaca ini kalian akan berkata, “Ini sangat tidak kamu!”, seperti Madi yang pernah berkata “Saya lebih baik mengenal kamu lewat tulisan dan pemikiranmu dibanding melihat tingkahmu”. Tapi saya rindu sendiri, saat dimana saya bisa menunjukkan sisi saya yang berbeda, yang belum tentu semua orang bisa saya temani berbagi tentang hal ini. Saya rindu sendiri, dimana saya yang memegang kendali cerita, saya menjadi tokoh utama dan pahlawannya, dan saya bebas menentukan akhir ceritanya.
Dan seperti apakah kesendirian itu? Sendiri itu berarti berada di kamar 3m X 4m yang dipenuhi buku, imajinasi dan mimpi, begadang dalam aktivitas malam saya tanpa ingin membangunkan mama dan Melly yang tidur di kamar sebelah. Sendiri itu berarti menonton film berbahasa Prancis atau Spanyol, tentang kejamnya resim Nazi atau mirisnya anak-anak korban perang di Timur Tengah. Sendiri itu berarti bisa bebas keliling dunia dengan buku, menghabiskan 1 edisi terbaru National Geography, membiarkan mitologi Yunani dan Mesir menari dalam ruang imajinasi, atau menjelajahi ratusan halaman Lonely Planet untuk mengetahui bahwa Pulau Sempu di selatan Jawa tidak kalah indah dibanding pulau Phi Phi di Thailand, tanpa interupsi tentang betapa membaca sambil berbaring itu merusak mata dan Atlantis itu hanyalah dongeng. Sendiri itu berarti saya bebas duduk di sudut favorit saya, mengatur koleksi perangko tua warisan mama sewaktu kuliah dulu, belajar membedakan benda maskulin dan feminin dalam bahasa Prancis, terpaksa mengerjakan tugas kuliah, menghitung gaji saya bulan ini sambil memperkirakan berapa yang harus saya tabung agar saya bisa ke India tahun depan. Sendiri itu berarti membalas sms seseorang di tengah malam yang mengeluh bagaimana kopi membuatnya tidak bisa tidur, tidak tahu harus ngapain di saat semua orang sudah tidur, dan akhirnya menemukan saya yang juga belum berpindah ke alam mimpi.
Sendiri saya tidak hanya terpaku pada kamar itu. Sendiri itu juga bisa berarti mengunjungi Bakti, membaca buku tentang issue dunia terbaru sambil mencari info beasiswa ke Belanda. Sendiri itu berarti menyudut di toko buku, membaca gratis buku sejarah The Beatles terbitan Inggris yang tidak akan mampu saya beli karena harganya yang hampir sejuta. Sendiri itu berarti duduk menikmati senja ditemani es teler, mengamati turis yang lewat sambil menebak mereka orang Prancis atau Jerman dilihat dari tulang hidungnya, sesekali memberi tahu mereka jangan lupa mengunjungi Togian sebelum ke Manado. Sendiri itu berarti pulang mengajar, mengamati lampu malam lewat jendela angkot sambil membayangkan kapan pemerintah bisa memberi perhatian tidak hanya pada pembangunan kota tetapi juga pada Monumen Mandala sehingga bisa menjadi objek wisata seperti halnya Menara Keagungan di Gorontalo, bukannya menjadi tempat mangkal waria yang tidak mengerti makna historis dan bagaimana semangat Trikora hanya berakhir menjadi arena tongkrongan malam mereka.
Sendiri itu berarti, saya bebas berpetualang dengan imajinasi dan impian saya sendiri. Tanpa mereka dengan jiwa konvensional yang berpikir bahwa kopi itu merusak gigi, kamar hanya untuk tidur dan berdandan, sejarah dunia terlalu rumit, keliling dunia itu mustahil, dan Monumen Mandala hanya menarik saat ada konser.
Dan inilah saya, tidak sabar menemui kesendirian itu. Tentu saja saya akan merindukan semua kebersamaan dan persaudaraan di rumah ini, saya akan sangat rindu setiap senti, detik, dan tawa yang pernah membahana di sini. Tapi maaf, saya juga rindu pada dunia saya lain, yang satunya lagi, yang akan segera menyambut saya sebentar lagi.
Dan inilah pagiku, ditemani semua benda mati yang sudah saya sebutkan di awal, saya tidak akan pernah betul-betul sendiri. Karena ada kalian, yang akan selalu ada dalam semua memori indah yang sudah kita ciptakan bersama.
Dan inilah pagiku.
3 comment:
Ahhh....
jenny...ndag bisaku...:'(
mo ka menangis bacaki...
mo mki pulang di?
mo mki pisah2? mo mki kembali ke duniaa kita masing2 sebelumnya...
huaaaaa...:')
hahaha..
nda pake nangisji awa deh, lebayko..
iya, ayo nikmati hari2 terakhir d sini dan kebersamaan kita sebelum kembali k dunia masing2. memang masih bisa ketemu, but that won't be the same.. :')
"sendiri"... yang aku sebut "jenny".
Post a Comment