Monday, August 22, 2011

Gerhana



Bulan dan matahari adalah sepasang kekasih, yang hanya bisa bersenggama ketika gerhana.
Bulan dan matahari menderita. Mereka tak pernah satu waktu. Itulah mengapa mereka mencintai gerhana.
Mereka selalu menunggu konspirasi waktu, untuk lalu berpisah berlawanan arah.

Demi bumi mereka mengitari.
Karena bumi, bulan dan matahari terhalangi.

Kau tahu apa yang bulan tinggalkan untuk matahari? Ia meninggalkan kecupan lewat embun pada fajar, tangan matahari yang berusaha mengangkat diri di ufuk cakrawala.
Sebagai gantinya, matahari menitipkan cahyanya pada milyaran bintang, untuk menemani malamnya.

Itulah cinta, tanpa bosan mereka lakukan berulang-ulang.
Embun dan bintang, pesan cinta yang tersebar ke penjuru semesta.
Demi bulan, embun, bintang dan matahari. Aku pun sedang menunggu gerhana, denganmu, tanpa akan terpisah lagi.

Denganmu, kita ciptakan gerhana sendiri,
menunggu pesan cinta yang kau titipkan pada semesta.

Saturday, August 20, 2011

That's The Dream, This's The Real

Weekend terakhir saya di Sorowako dimulai dengan percakapan telepon yang tidak disengaja. Percakapan dengan seseorang yang dua bulan terakhir menjadi teman begadang jarak jauh saya, teman ngobrol lewat chat dan sms, teman berbagi cerita tentang musik folk, film Prancis, kopi, dan indahnya alam Indonesia. Seseorang yang selama 3 tahun kadang berpapasan dengan saya di kampus tanpa pernah dilanjutkan dengan sebuah percakapan karena sama-sama tidak tahu ternyata punya hobi dan minat yang sama dengan saya.

Kemarin saya sempat bercerita kepada dia tentang cita-cita saya, betapa hal itu selalu berubah mulai dari saya kecil sampai hari ini. Bagaimana tayangan Discovery Channel dan National Geography sukses membuat saya bersemangat belajar sejarah karena ingin menjadi arkeolog semasa SD. Menginjak SMP, ajaibnya tubuh manusia dan nilai biologi yang selalu di atas rata-rata menginspirasi saya untuk menjadi dokter. Masuk SMA, kecintaan pada dunia bola dan fashion membuat saya berpikir untuk kuliah komunikasi agar bisa menjadi wartawan untuk dua bidang tersebut. Dan coba tanya saya hari ini, apa cita-cita saya, maka saya akan menjawab ingin menjadi travel-writer, sesuatu yang seluruh dunia tahu betapa saat ini saya sedang senangnya menulis dan besarnya obsesi saya untuk traveling keliling dunia suatu saat nanti.

Tapi lihat apa yang malah saya pelajari di bangku kuliah. Teknik industri. Sesuatu yang tidak pernah saya rencanakan sebelumnya, sesuatu yang entah kenapa saya jadikan pilihan kedua saat mendaftar kuliah. Sesuatu yang membuat saya rela meninggalkan Akuntansi UGM dengan predikat 100 terbaik dunianya yang selalu disebut dalam doa mama sepanjang tahun terakhir saya di SMA. Sesuatu yang sampai hari ini kadang membuat saya bingung mau jadi apa saya dengan ilmu ini setelah kuliah nanti.

Hingga satu pertanyaan meluncur, “Jadi sebenarnya kamu mau jadi apa? Memangnya mau jadi karyawan?”. Oh well, pertanyaan yang bahkan di saat saya sudah bersiap mengerjakan skripsi belum bisa saya pastikan jawabannya. Memang benar, seharusnya saat ini saya sudah mulai berpikir mau jadi apa saya nanti, bukan lagi angan-angan menggali situs purbakala di Peru atau meliput Piala Dunia 2014 di Brasil. Tetap mengkhayal, atau semua perjuangan begadang demi menyelesaikan gambar kopling atau ribetnya menghitung data anthropometri akan sia-sia. Kali ini saya harus realistis, memikirkan pekerjaan apa yang nanti akan menghidupi saya dan akan menjadi tumpuan hidup hingga hari tua.

Tapi menjadi karyawan, entahlah. Rasanya saya belum siap harus tunduk pada jam kerja dan kenyataan bahwa hanya akan ada 12 hari cuti dalam setahun. Terbayang saya harus membetahkan diri di kantor dan itu berarti saya tidak akan bebas traveling ke manapun seperti impian saya. Lima bulan berada di proyek ini saja sudah membuat saya bosan setengah mati, bagaimana nanti jika rutinitas seperti ini akan menjadi suatu alasan untuk tetap bertahan demi hidup dan keluarga? Saya mungkin belum siap, mungkin tidak mau. Kalau boleh egois, saya tidak mau bekerja. Mending saya jadi backpacker saja seperti teman-teman di komunitas saya. Keliling dunia dengan biaya sangat minim, hidup di jalan, tidak perlu memikirkan kekayaan karena dengan melihat dunia kekayaan pengalaman saya bakal lebih dari sekadar apa yang orang awam sebut dengan sejahtera. Tapi tidak dengan kenyataan. Fakta bahwa saya adalah anak pertama dan akan menjadi tumpuan harapan keluarga, punya ibu pensiunan yang ingin sekali saya bahagiakan hari tuanya dan adik perempuan kecil yang masih butuh sekolah setingginya dan sudah mulai mengukir mimpinya sendiri untuk kuliah di Prancis memaksa saya untuk berpikir tentang masa depan saya nanti. Memaksa saya untuk siap jika suatu saat nanti semua impian dan rencana saya harus sedikit terhalangi dengan tembok ruang kantor, padatnya deadline, dan jumlah cuti yang rasanya sangat sulit untuk mewujudkan impian saya untuk keliling dunia.

Dan itulah kenyataannya. Tahun depan saya mungkin bukan lagi mahasiswa, rutinitas saya tidak lagi rumah-kampus-bioskop-toko buku-warkop-karaokean-liburan, dan di pagi hari pikiran saya bukan lagi tentang ‘Pakai baju apa ke kampus hari ini?’, tapi ‘Minggu ini ada deadline apa? Rekening listrik sudah dibayar? Harus belanja apa untuk masak sebentar malam? Jangan lupa beli susu kalsium untuk Mama dan kasih Melly uang untuk beli seragam baru’. Mungkin saat itu saya yang akan pegang kendali, menggantikan tahta mama yang sebelumnya mengontrol semuanya, juga dengan cara dia membaktikan dirinya untuk kami berdua sebagai karyawan, 20 tahun di balik meja, komputer, dan deadline yang menggila.

Tapi hey, setidaknya saya masih menjadi mahasiswa sampai tahun depan, kan? Masih ada waktu untuk senang-senang, menikmati hari bersama teman-teman dan pacar, masih ada waktu untuk belajar mempersiapkan semua perubahan dan menerima tanggung jawab itu. Lagipula tidak semuanya buruk, kok. Setidaknya salah satu bukti nyata adalah walaupun mama telah mengabiskan hampir separuh hidupnya di balik meja kantor dia tetap bisa mengelilingi hampir separuh dunia hanya dengan cuti 12 hari setahun. Mungkin saya bisa lebih baik dari itu.

Dan dengan semua pengalaman, mimpi, dan semester tujuh yang akan menyongsong Senin depan, tanyakan saya ingin jadi apa suatu hari nanti, dan jawabannya adalah ‘Saya ingin menyelesaikan kuliah tahun depan, bekerja di perusahaan international, di umur 25 mendapat beasiswa untuk belajar Industrial Ecology di Belanda, keliling Eropa dan India, serta menemukan seorang pemimpi yang akan menjadi ayah dari jagoan-jagoan kecil saya yang akan melanjutkan mimpi-mimpi kami dan mungkin, mengukir mimpi mereka sendiri’.

Well, cita-cita mungkin boleh mati, tapi impian akan tetap hidup dan menunggu untuk diwujudkan. Seperti itu, kan?

Friday, August 19, 2011

Akan Ada Hari

Akan ada hari dimana aku menantimu di balik pintu.
Menjaga hangatnya kopimu, menunggu diseruput lelahmu.

Akan ada hari dimana kugelar sajadahku dan sajadahmu.
Kita bersujud dalam sepenggal waktu, berulang kali.

Akan ada hari dimana seluruh doa yang terucap dari bibirmu.
Kuamini juga dalam hati, satu shaf di belakangmu.

Akan ada hari kusiapkan sahurmu, dengan senang hati.
Dan menanti berbuka sembari mengukir senja.

Akan ada hari, kaudengungkan adzan di balik daun telinga sosok yang mungil,
yang mewarisi sebagian parasmu, dan sebagian tingkahku.

Akan ada hari, kita melihat nisan. Dan memesan sepetak lahan, berdampingan.
Untuk nanti, ketika esok tak ada lagi.

Akan ada hari, entah kau, atau aku yang merana. Karena salah satu dari kita akan pergi lebih dulu. Meninggalkan dunia, melepaskan fana.

Thursday, August 18, 2011

Sendiri.

Dan inilah pagiku, duduk sendiri ditemani segelas kopi tubruk hangat, sebungkus Oreo original, novel tentang Rusia yang baru belum seperempatnya dibaca, lagu country yang petikan gitarnya membuat kepala saya bergoyang ke kiri dan kanan, dan sakit perut yang mengawali bolosnya saya dari puasa Ramadhan sampai setidaknya seminggu ke depan. Setidaknya dengan sakit ini berarti saya perempuan sehat yang Insya Allah bisa menjadi ibu untuk anak-anak saya nanti.

Hanya kurang seseorang dan obrolan seru tentang traveling untuk menjadikannya sempurna.

Serius, akhirnya saya bisa sendiri di rumah sebesar ini yang dihuni 16 orang yang selalu sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Bagus dengan semangat badmintonnya, Iqra dengan gamenya, Mili dengan kegiatan pacarannya di telepon, Awa dengan aktivitas keibuannya di dapur, dan saya? Saya dengan obrolan seru yang tidak pernah ada habisnya bersama Cha yang sukses membuat rumah rame dan tidak jarang, ribut. Ditambah dengan kunjungan dari teman-teman Ranau dan Poso membawa kejahilan Fikar dan kejayusan Kiky  yang menjadikannya kebersamaan yang sempura. Tapi pagi ini saya sendiri, ditinggalkan mereka yang masih harus tunduk pada kontrak kerja yang belum tuntas sampai minggu depan.

Sendiri? Mungkin aneh, tapi inilah yang saya rindukan selama hampir 5 bulan terakhir, sesuatu yang mungkin kebanyakan orang pikir sangat tidak ‘saya’. Saya yang selalu aktif dan cerewet kangen sendiri. Sedang galau, tidak. Hidup saya sangat indah saat ini, saya memiliki semuanya, bahkan mimpi yang menunggu untuk diwujudkan; dikelilingi orang-orang yang saya sayangi dan dinanti mereka yang saya rindukan;  dan semangat untuk pulang dan bertemu lagi dengan keramaian Makassar.

Sebut saja saya berkepribadian ganda, dan semua yang saya tunjukkan selama 5 bulan ini sudah cukup dan ingin berbalik menunjukkan sisinya yang lain. Bahkan mungkin ketika kalian membaca ini kalian akan berkata, “Ini sangat tidak kamu!”, seperti Madi yang pernah berkata “Saya lebih baik mengenal kamu lewat tulisan dan pemikiranmu dibanding melihat tingkahmu”. Tapi saya rindu sendiri, saat dimana saya bisa menunjukkan sisi saya yang berbeda, yang belum tentu semua orang bisa saya temani berbagi tentang hal ini. Saya rindu sendiri, dimana saya yang memegang kendali cerita, saya menjadi tokoh utama dan pahlawannya, dan saya bebas menentukan akhir ceritanya.

Dan seperti apakah kesendirian itu? Sendiri itu berarti berada di kamar 3m X 4m yang dipenuhi buku, imajinasi dan mimpi, begadang dalam aktivitas malam saya tanpa ingin membangunkan mama dan Melly yang tidur di kamar sebelah. Sendiri itu berarti menonton film berbahasa Prancis atau Spanyol, tentang kejamnya resim Nazi atau mirisnya anak-anak korban perang di Timur Tengah. Sendiri itu berarti bisa bebas keliling dunia dengan buku, menghabiskan 1 edisi terbaru National Geography, membiarkan mitologi Yunani dan Mesir menari dalam ruang imajinasi, atau menjelajahi ratusan halaman Lonely Planet untuk mengetahui bahwa Pulau Sempu di selatan Jawa tidak kalah indah dibanding pulau Phi Phi di Thailand, tanpa interupsi tentang betapa membaca sambil berbaring itu merusak mata dan Atlantis itu hanyalah dongeng. Sendiri itu berarti saya bebas duduk di sudut favorit saya, mengatur koleksi perangko tua warisan mama sewaktu kuliah dulu, belajar membedakan benda maskulin dan feminin dalam bahasa Prancis, terpaksa mengerjakan tugas kuliah, menghitung gaji saya bulan ini sambil memperkirakan berapa yang harus saya tabung agar saya bisa ke India tahun depan. Sendiri itu berarti membalas sms seseorang di tengah malam yang mengeluh bagaimana kopi membuatnya tidak bisa tidur, tidak tahu harus ngapain di saat semua orang sudah tidur, dan akhirnya menemukan saya yang juga belum berpindah ke alam mimpi.

Sendiri saya tidak hanya terpaku pada kamar itu. Sendiri itu juga bisa berarti mengunjungi Bakti, membaca buku tentang issue dunia terbaru sambil mencari info beasiswa ke Belanda. Sendiri itu berarti menyudut di toko buku, membaca gratis buku sejarah The Beatles terbitan Inggris yang tidak akan mampu saya beli karena harganya yang hampir sejuta. Sendiri itu berarti duduk menikmati senja ditemani es teler, mengamati turis yang lewat sambil menebak mereka orang Prancis atau Jerman dilihat dari tulang hidungnya, sesekali memberi tahu mereka jangan lupa mengunjungi Togian sebelum ke Manado. Sendiri itu berarti pulang mengajar, mengamati lampu malam lewat jendela angkot sambil membayangkan kapan pemerintah bisa memberi perhatian tidak hanya pada pembangunan kota tetapi juga pada Monumen Mandala sehingga bisa menjadi objek wisata seperti halnya Menara Keagungan di Gorontalo, bukannya menjadi tempat mangkal waria yang tidak mengerti makna historis dan bagaimana semangat Trikora hanya berakhir menjadi arena tongkrongan malam mereka.

Sendiri itu berarti, saya bebas berpetualang dengan imajinasi dan impian saya sendiri. Tanpa mereka dengan jiwa konvensional yang berpikir bahwa kopi itu merusak gigi, kamar hanya untuk tidur dan berdandan, sejarah dunia terlalu rumit, keliling dunia itu mustahil, dan Monumen Mandala hanya menarik saat ada konser.

Dan inilah saya, tidak sabar menemui kesendirian itu. Tentu saja saya akan merindukan semua kebersamaan dan persaudaraan di rumah ini, saya akan sangat rindu setiap senti, detik, dan tawa yang pernah membahana di sini. Tapi maaf, saya juga rindu pada dunia saya lain, yang satunya lagi, yang akan segera menyambut saya sebentar lagi.

Dan inilah pagiku, ditemani semua benda mati yang sudah saya sebutkan di awal, saya tidak akan pernah betul-betul sendiri. Karena ada kalian, yang akan selalu ada dalam semua memori indah yang sudah kita ciptakan bersama.

Dan inilah pagiku.

Monday, August 15, 2011

Rest In Peace, Meidian Wahyu...

One thing that really made me shocked today is when I know that Mas Median has died.

We’re not so close each other, even we’ve never met before. I knew him from my ex-boyfriend because they’re met in I-STEP (Intensive Student Technopreneurship) Competition in Bogor. Both of them are class of 2008 and me in 2009, just one year after them. I only knew him by Facebook and stories from their friend, including my ex. Although we just ‘met’ like that but I shared everything with him.

Mas Median is a very smart and friendly guy. I adore him because he’s so clever in English, his TOEFL score is 597 (last time I asked him about one year ago), which makes me really envy and inspired me at the same time to keep improve my English. And I shared anything with him. From about how I really want to improve my English and have a great TOEFL score like him, how we always played by mix English words into a unique sentence, even how I hate looking jilbaber wears legging. I still remember how I protested, “But it just wrapping, not covering! You think is it kiss or diss?” and he answered it with a little joke, “It’s dish, my little sister”. Well this is what I said how we mix English word became something funny.

Not only in English, although he was an International Relationship student but he’s also really smart in technology. His experiment, Kendal’s Bicycle Power Plant showed how big his dream to give electricity to remote society. Yeah, you can see how he really wants to see better Indonesia in the future.

Too bad he’s gone too soon. He died by an accident with a truck when he was riding a motorcycle to pick up his mom. He suffered a concussion and could not be saved, then finally went to. He went out and left his beloved friends and family, great experience, and lots of dreams. I still can find his last comment on my Facebook and as usual, we played the words and for this time I swear I feel really sorry that I didn’t reply his comment. Now, there’s no more a mate to mix English words, a place to share what’s on my mind, a friend to share anything. Yes, I still have lots of friends around me that I can meet every day and with me as long as I want, but no one can be the same like him, for God sake. I also think who will continue his dream about his experiment, but I guess his close friends must be know about this his last testamentary, and I hope they’ll continue it to make it come true.

The last comment on my profile

Rest in peace, Mas Median. Thanks for all the shares and inspirations.
Will gonna miss our conversations. :’(

Sunday, August 14, 2011

Don't Tell Me To Stop



low low low
but don't wanna stop stop stop
low stop low stop
i don't mind the Gap, don't you feel it too?

high high high
let me make it mine mine mine
high is mine high is mine
your un-mainstream ideas, would you share it too?

it is so wrong, i know
but my heart is yearning for so long
so please be nice to me, i wanna feel it a little bit longer
with somebody who has a stop signal on his forehead



PS: I wrote a poem a few months ago. Not a special poem, but someone has made it become a song. I'm not listen to it yet, but I swear it sounds groovy. So is there anyone wanna make this too?

Saturday, August 13, 2011

Last Week In Sorowako

Well folks, so how are you?

After more than a month since my last post, here I am back to writing. Okay okay, sorry for being a very bad blogger, I’ve never shared all my stories to you again and I owe you all of them. I owe you to tell what I did this last month, how I spend my weekend in Torajaland (with did trekking and rafting, it was so… WOW!), stories when I take a break and back to Makassar, even I owe you to share what’s on my mind now and what’s my latest plan, dream, and goal. So please stop to judge and think there’s something wrong with me. Just take your seat, and I’ll write to you. Hey, I’m serious now! I’ll write them all!

But wait, where I should start?

Yeah, I have so much to tell and share, too much makes me can’t decide which the best one to start. But maybe you wanna asked “Where the hell was I?” I wasn’t going anywhere I’m still in Sorowako, except the moment when I traveled to Torajaland and Makassar. I just feel (this I have to admit) too lazy to write. I don’t know, but I feel like I lost all my mood and passion. Even holiday can’t made me spirit back. I guess there’s nothing wrong with me, and there’s nothing wrong at all. So, what’s the problem?

Well maybe the reason is because I already feeling bored being here. It’s very nice being here actually, as I told you that I feel so lucky I can join this project and get so MUCH experience from it, all of them are priceless. But theses routines, problem with my housemate (about two persons whose act really disturbed us), and other things make me feel really bored. I can’t lie, I miss my life before. And the time when I back to Makassar and met all my friends, my family, even my room made me more realize how much I miss it. I miss my room, place when I feel like a queen, everything belongs to me, and I don’t have to share with other. I miss how my mother being mad at me and the way I tease my little sister. I miss hang out time with my friends, sing together, our silly dance, and spend lots of times discuss about books, movies, friend’s bad attitude, boys, anything. Most of them, I MISS BEING A STUDENT!!! I miss do my paper, fall asleep in class, write on my notebook, and the way I feel smart with them.

And here it is, my last weekend in Sorowako. My contract will expire next Tuesday and I’ll return home next weekend. I don’t know what I’m supposed to feel. Sad, of course. This gonna be the best experience I’ve ever had. But I also feel excited with that moment. Being home and get my life back. I can’t wait to back to college and finish my study (I’ll graduate next year it’s a must!), learn TOEFL more and improve my Dutch again, meet my friends, and also my bf for sure. I already have so much plan to do when I’m home, but let me tell you later (okay I owe you one more story). But one thing for sure, I’ll struggle to my study as I promise to myself to graduate next year. Wish me luck!

So what’s the best thing to do for my last week in here? Well I don’t decide yet, I really want to swim at lake but I can’t because I’m fasting now. I’m not ready yet to pack my stuff because I worry I still need to use them next week. Well maybe I’ll start by download as much song as I can because this laptop have to return to office on Tuesday, LOL.

Happy weekend, awesome!