Saturday, August 20, 2011

That's The Dream, This's The Real

Weekend terakhir saya di Sorowako dimulai dengan percakapan telepon yang tidak disengaja. Percakapan dengan seseorang yang dua bulan terakhir menjadi teman begadang jarak jauh saya, teman ngobrol lewat chat dan sms, teman berbagi cerita tentang musik folk, film Prancis, kopi, dan indahnya alam Indonesia. Seseorang yang selama 3 tahun kadang berpapasan dengan saya di kampus tanpa pernah dilanjutkan dengan sebuah percakapan karena sama-sama tidak tahu ternyata punya hobi dan minat yang sama dengan saya.

Kemarin saya sempat bercerita kepada dia tentang cita-cita saya, betapa hal itu selalu berubah mulai dari saya kecil sampai hari ini. Bagaimana tayangan Discovery Channel dan National Geography sukses membuat saya bersemangat belajar sejarah karena ingin menjadi arkeolog semasa SD. Menginjak SMP, ajaibnya tubuh manusia dan nilai biologi yang selalu di atas rata-rata menginspirasi saya untuk menjadi dokter. Masuk SMA, kecintaan pada dunia bola dan fashion membuat saya berpikir untuk kuliah komunikasi agar bisa menjadi wartawan untuk dua bidang tersebut. Dan coba tanya saya hari ini, apa cita-cita saya, maka saya akan menjawab ingin menjadi travel-writer, sesuatu yang seluruh dunia tahu betapa saat ini saya sedang senangnya menulis dan besarnya obsesi saya untuk traveling keliling dunia suatu saat nanti.

Tapi lihat apa yang malah saya pelajari di bangku kuliah. Teknik industri. Sesuatu yang tidak pernah saya rencanakan sebelumnya, sesuatu yang entah kenapa saya jadikan pilihan kedua saat mendaftar kuliah. Sesuatu yang membuat saya rela meninggalkan Akuntansi UGM dengan predikat 100 terbaik dunianya yang selalu disebut dalam doa mama sepanjang tahun terakhir saya di SMA. Sesuatu yang sampai hari ini kadang membuat saya bingung mau jadi apa saya dengan ilmu ini setelah kuliah nanti.

Hingga satu pertanyaan meluncur, “Jadi sebenarnya kamu mau jadi apa? Memangnya mau jadi karyawan?”. Oh well, pertanyaan yang bahkan di saat saya sudah bersiap mengerjakan skripsi belum bisa saya pastikan jawabannya. Memang benar, seharusnya saat ini saya sudah mulai berpikir mau jadi apa saya nanti, bukan lagi angan-angan menggali situs purbakala di Peru atau meliput Piala Dunia 2014 di Brasil. Tetap mengkhayal, atau semua perjuangan begadang demi menyelesaikan gambar kopling atau ribetnya menghitung data anthropometri akan sia-sia. Kali ini saya harus realistis, memikirkan pekerjaan apa yang nanti akan menghidupi saya dan akan menjadi tumpuan hidup hingga hari tua.

Tapi menjadi karyawan, entahlah. Rasanya saya belum siap harus tunduk pada jam kerja dan kenyataan bahwa hanya akan ada 12 hari cuti dalam setahun. Terbayang saya harus membetahkan diri di kantor dan itu berarti saya tidak akan bebas traveling ke manapun seperti impian saya. Lima bulan berada di proyek ini saja sudah membuat saya bosan setengah mati, bagaimana nanti jika rutinitas seperti ini akan menjadi suatu alasan untuk tetap bertahan demi hidup dan keluarga? Saya mungkin belum siap, mungkin tidak mau. Kalau boleh egois, saya tidak mau bekerja. Mending saya jadi backpacker saja seperti teman-teman di komunitas saya. Keliling dunia dengan biaya sangat minim, hidup di jalan, tidak perlu memikirkan kekayaan karena dengan melihat dunia kekayaan pengalaman saya bakal lebih dari sekadar apa yang orang awam sebut dengan sejahtera. Tapi tidak dengan kenyataan. Fakta bahwa saya adalah anak pertama dan akan menjadi tumpuan harapan keluarga, punya ibu pensiunan yang ingin sekali saya bahagiakan hari tuanya dan adik perempuan kecil yang masih butuh sekolah setingginya dan sudah mulai mengukir mimpinya sendiri untuk kuliah di Prancis memaksa saya untuk berpikir tentang masa depan saya nanti. Memaksa saya untuk siap jika suatu saat nanti semua impian dan rencana saya harus sedikit terhalangi dengan tembok ruang kantor, padatnya deadline, dan jumlah cuti yang rasanya sangat sulit untuk mewujudkan impian saya untuk keliling dunia.

Dan itulah kenyataannya. Tahun depan saya mungkin bukan lagi mahasiswa, rutinitas saya tidak lagi rumah-kampus-bioskop-toko buku-warkop-karaokean-liburan, dan di pagi hari pikiran saya bukan lagi tentang ‘Pakai baju apa ke kampus hari ini?’, tapi ‘Minggu ini ada deadline apa? Rekening listrik sudah dibayar? Harus belanja apa untuk masak sebentar malam? Jangan lupa beli susu kalsium untuk Mama dan kasih Melly uang untuk beli seragam baru’. Mungkin saat itu saya yang akan pegang kendali, menggantikan tahta mama yang sebelumnya mengontrol semuanya, juga dengan cara dia membaktikan dirinya untuk kami berdua sebagai karyawan, 20 tahun di balik meja, komputer, dan deadline yang menggila.

Tapi hey, setidaknya saya masih menjadi mahasiswa sampai tahun depan, kan? Masih ada waktu untuk senang-senang, menikmati hari bersama teman-teman dan pacar, masih ada waktu untuk belajar mempersiapkan semua perubahan dan menerima tanggung jawab itu. Lagipula tidak semuanya buruk, kok. Setidaknya salah satu bukti nyata adalah walaupun mama telah mengabiskan hampir separuh hidupnya di balik meja kantor dia tetap bisa mengelilingi hampir separuh dunia hanya dengan cuti 12 hari setahun. Mungkin saya bisa lebih baik dari itu.

Dan dengan semua pengalaman, mimpi, dan semester tujuh yang akan menyongsong Senin depan, tanyakan saya ingin jadi apa suatu hari nanti, dan jawabannya adalah ‘Saya ingin menyelesaikan kuliah tahun depan, bekerja di perusahaan international, di umur 25 mendapat beasiswa untuk belajar Industrial Ecology di Belanda, keliling Eropa dan India, serta menemukan seorang pemimpi yang akan menjadi ayah dari jagoan-jagoan kecil saya yang akan melanjutkan mimpi-mimpi kami dan mungkin, mengukir mimpi mereka sendiri’.

Well, cita-cita mungkin boleh mati, tapi impian akan tetap hidup dan menunggu untuk diwujudkan. Seperti itu, kan?

2 comment:

Anonymous said...

Alternatif kerjaan lain sepertinya anda cocok jadi motivator! :D

-anonymous nomor 13-

Anonymous said...

menjadi sesuatu yg berbeda,,knp tidak, knp iwan setiawan bisa mewujudkan cita2nya dlm bukunya dari kota apel ke the big apel,,knp kita tdk..dengan segala keterbatasan ini, sy harap menjadi kekuatan, karena walaupun dunia terguncang dan ita hanya berdiri di satu kaki saja, tp yakin kita dan kamu masih berfungsi...

Post a Comment